Senin, 10 Maret 2014

PRAMOEDYA ANANTA TOER

lahir di Blora, Jawa Tengah pada tanggal 6 Februari 1925. dia merupakan anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya berdagang nasi. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Sebagai putra sulung tokoh Institut Boedi Oetomo, Pram kecil malah tidak begitu cemerlang dalam pelajaran di sekolahnya. Tiga kali tak naik kelas di Sekolah Dasar, membuat ayahnya menganggap dirinya sebagai anak bodoh. Akibatnya, setelah lulus Sekolah Dasar yang dijalaninya di bawah pengajaran keras ayahnya sendiri, sang ayah, Pak Mastoer, menolak mendaftarkannya ke MULO (setingkat SLTP).

Ia pun melanjutkan pendidikan di sekolah telegraf (Radio Vakschool) Surabaya atas biaya ibunya. Biaya pas-pasan selama bersekolah di Surabaya juga hampir membuat Pram gagal di ujian praktik. Ketika itu, tanpa mempunyai peralatan, ia tetap mengikuti ujian tersebut namun dengan cara hanya berpura-pura sibuk di samping murid yang terpandai. Walau begitu, secara umum nilai-nilai Pram cukup baik dan ia pun lulus dari sekolah meski karena meletusnya perang dunia II di Asia, ijazahnya yang dikirim dari Bandung tak pernah ia terima. kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia. Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karier militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.

Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.


Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada zaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.

Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995). Edisi lengkap Nyanyi Sunyi Seorang Bisu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Willem Samuels, diterbitkan di Indonesia oleh Hasta Mitra bekerja sama dengan Yayasan Lontar pada 1999 dengan judul The Mute's Soliloquy: A Memoir

Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" pada masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya. Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.

Biografi Pramoedya Ananta Toer
Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis. Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada zaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.

Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya pada masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya. Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran. Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'. Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka.

Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan fasilitas yang lumayan - apalagi kalau ada tamu dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya akan menjadi 'bintangnya'. Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an. Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum,

dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan.

Kisah asmara Pram juga tidak lepas dari pengaruh realitas kemiskinan yang bahkan masih jamak menghinggapi kehidupan para penulis dan seniman masa kini. Perkawinan pertamanya berakhir dengan perceraian dan diusirnya Pram dari rumah mertuanya karena hasil yang ia peroleh dari menulis yang belum menentu tak dapat menafkahi keluarganya. Sementara ia masih hidup tak menentu, suatu hari, meski tak memiliki uang sepeser pun, ia mengunjungi sebuah pameran buku pertama di Indonesia dan melihat salah seorang wanita penjaga stan yang menarik perhatiannya. Ia pun nekad datang dan berkenalan dengan wanita yang ternyata bernama Maemunah tersebut. Setiap hari ia berlama-lama menemani Maemunah duduk di stan itu layaknya seorang penjaga. Bahkan sampai ketika Presiden Soekarno juga mengunjungi dan melihat gadisnya tersebut, dengan bercanda ia gambarkan adegan itu sebagai "buaya kedahuluan buaya." Keteguhan dan pendekatannya pun membawa hasil, Maemunah terbukti adalah istri yang selalu tetap setia mendampinginya dalam segala suka duka mereka sampai sekarang.


Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah. Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.
TAUFIK ISMAIL
Pada tahun 1956–1957 ia memenangkan beasiswa American Field Service Interntional School guna mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Wisconsin, AS, angkatan pertama dari Indonesia.
Taufik Ismail melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia (sekarang IPB), dan tamat pada tahun1963. Pada tahun 1971–1972 dan 1991–1992 ia mengikuti International Writing Program, University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat. Ia juga belajar pada Faculty of Languange and Literature, American University in Cairo, Mesir, pada tahun 1993. Karena pecah Perang Teluk, Taufiq pulang ke Indonesia sebelum selesai studi bahasanya.
Semasa mahasiswa Taufiq Ismail aktif dalam berbagai kegiatan. Tercatat, ia pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa FKHP UI (1960–1961) dan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa (1960–1962). Ia pernah mengajar sebagai guru bahasa di SMA Regina Pacis, Bogor (1963-1965), guru Ilmu Pengantar Peternakan di Pesantren Darul Fallah, Ciampea (1962), dan asisten dosen Manajemen Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas Indonesia Bogor dan IPB (1961-1964). Karena menandatangani Manifes Kebudayaan, yang dinyatakan terlarang oleh Presiden Soekarno, ia batal dikirim untuk studi lanjutan ke Universitas Kentucky dan Florida. Ia kemudian dipecat sebagai pegawai negeri pada tahun 1964.
Taufiq menjadi kolumnis Harian KAMI pada tahun 1966-1970. Kemudian, Taufiq bersama Mochtar Lubis, P.K. Oyong, Zaini, dan Arief Budiman mendirikan Yayasan Indonesia, yang kemudian juga melahirkan majalah sastra Horison (1966). Sampai sekarang ini ia memimpin majalah itu.
Taufiq merupakan salah seorang pendiri Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman Ismail Marzuki (TIM), dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) (1968). Di ketiga lembaga itu Taufiq mendapat berbagai tugas, yaitu Sekretaris Pelaksana DKJ, Pj. Direktur TIM, dan Rektor LPKJ (1968–1978). Setelah berhenti dari tugas itu, Taufiq bekerja di perusahaan swasta, sebagai Manajer Hubungan Luar PT Unilever Indonesia (1978-1990).
Taufiq Ismail
Taufiq Ismail saat menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Indonesia
Pada tahun 1993 Taufik diundang menjadi pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Malaysia. Sebagai penyair, Taufiq telah membacakan puisinya di berbagai tempat, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Dalam setiap peristiwa yang bersejarah di Indonesia Taufiq selalu tampil dengan membacakan puisi-puisinya, seperti jatuhnya Rezim Soeharto, peristiwa Trisakti, dan peristiwa Pengeboman Bali.
Hasil karya:
  1. Tirani, Birpen KAMI Pusat (1966)
  2. Benteng, Litera ( 1966)
  3. Buku Tamu Musium Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta (buklet baca puisi) (1972)
  4. Sajak Ladang Jagung, Pustaka Jaya (1974)
  5. Kenalkan, Saya Hewan (sajak anak-anak), Aries Lima (1976)
  6. Puisi-puisi Langit, Yayasan Ananda (buklet baca puisi) (1990)
  7. Tirani dan Benteng, Yayasan Ananda (cetak ulang gabungan) (1993)
  8. Prahara Budaya (bersama D.S. Moeljanto), Mizan (1995)
  9. Ketika Kata Ketika Warna (editor bersama Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, Amri Yahya, dan Agus Dermawan, antologi puisi 50 penyair dan repoduksi lukisan 50 pelukis, dua bahasa, memperingati ulangtahun ke-50 RI), Yayasan Ananda (1995)
  10. Seulawah — Antologi Sastra Aceh (editor bersama L.K. Ara dan Hasyim K.S.), Yayasan Nusantara bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Khusus Istimewa Aceh (1995)
  11. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Yayasan Ananda (1998)
  12. Dari Fansuri ke Handayani (editor bersama Hamid Jabbar, Herry Dim, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, Jamal D. Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan Anwar, antologi sastra Indonesia dalam program SBSB 2001), Horison-Kakilangit-Ford Foundation (2001)
  13. Horison Sastra Indonesia, empat jilid meliputi Kitab Puisi (1), Kitab Cerita Pendek (2), Kitab Nukilan Novel (3), dan Kitab Drama (4) (editor bersama Hamid Jabbar, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, Herry Dim, Jamal D. Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan Anwar, antologi sastra Indonesia dalam program SBSB 2000-2001, Horison-Kakilangit-Ford Foundation (2002)


Karya terjemahan:
  • Banjour Tristesse (terjemahan novel karya Francoise Sagan, 1960)
  • Cerita tentang Atom (terjemahan karya Mau Freeman, 1962)
  • Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam (dari buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam, M. Iqbal (bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad), Tintamas (1964)
Atas kerja sama dengan musisi sejak 1974, terutama dengan Himpunan Musik Bimbo (Hardjakusumah bersaudara), Chrisye, Ian Antono, dan Ucok Harahap, Taufiq telah menghasilkan sebanyak 75 lagu.
Ia pernah mewakili Indonesia baca puisi dan festival sastra di 24 kota di Asia, Amerika, Australia, Eropa, dan Afrika sejak 1970. Puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, Sunda, Bali, Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, dan Cina.
Kegiatan kemasyarakatan yang dilakukannnya, antara lain menjadi pengurus perpustakaan PII, Pekalongan (1954-56), bersama S.N. Ratmana merangkap sekretaris PII Cabang Pekalongan, Ketua Lembaga Kesenian Alam Minangkabau (1984-86), Pendiri Badan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya (1985) dan kini menjadi ketuanya, serta bekerja sama dengan badan beasiswa American Field Service, AS menyelenggarakan pertukaran pelajar. Pada tahun 1974–1976 ia terpilih sebagai anggota Dewan Penyantun Board of Trustees AFS International, New York.
Ia juga membantu LSM Geram (Gerakan Antimadat, pimpinan Sofyan Ali). Dalam kampanye antinarkoba ia menulis puisi dan lirik lagu “Genderang Perang Melawan Narkoba” dan “Himne Anak Muda Keluar dari Neraka” dan digubah Ian Antono). Dalam kegiatan itu, bersama empat tokoh masyarakat lain, Taufiq mendapat penghargaan dari Presiden Megawati (2002).
Kini Taufiq menjadi anggota Badan Pertimbangan Bahasa, Pusat Bahasa dan konsultan Balai Pustaka, di samping aktif sebagai redaktur senior majalah Horison.
Anugerah yang diterima:
  • Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1970)
  • Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia (1977)
  • South East Asia (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand (1994)
  • Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994)
  • Sastrawan Nusantara dari Negeri Johor, Malaysia (1999)
  • Doctor honoris causa dari Universitas Negeri Yogyakarta (2003)
Taufiq Ismail menikah dengan Esiyati Yatim pada tahun 1971 dan dikaruniai seorang anak laki-laki, Bram Ismail. Bersama keluarga ia tinggal di Jalan Utan Kayu Raya 66-E, Jakarta 13120.
Referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/Taufiq_Ismail
KESUSASTRAAN INDONESIA.. 25 TAHUN MENDATANG
Sastra Indonesia | Esai – Tahun 1930-an, para sastrawan mampu menghasilkan pemikiran visioner. Pemikiran hasil perdebatan dengan melibatkan beragam pandangan. Bersandar pada realitas saat itu, para sastrawan memandang jauh untuk memberi arah serta gambaran kondisional sastra ke depan. Sampai kini, suara-suara dari perdebatan tersebut masih menggema.
Awal tahun 1990-an, para sastrawan juga terlibat dengan berbagai spekulasi tentang masa depan sastra. Perdebatan yang berasal dari imbas pemikiran posmodern. Walau tidak terlalu berpijak pada realitas konkret di Indonesia, tema perdebatan meluas hingga mampu memberi alternatif masa depan sastra kita.
Sayangnya, pada sepuluh tahun terakhir, sastrawan-sastrawan kita tampak kesulitan mencari tema besar yang merangsang munculnya kompleksitas pemikiran. Esai-esai di media massa hanya berkutat pada tema-tema fragmentaris. Daya jangkaunya pun hanya bergaung dalam satu atau dua tahun. Tidak mampu memberi inspirasi terhadap disiplin ilmu lain di luar sastra.
Bersandar dari situasional ini, ranah sastra membutuhkan perdebatan yang melambung jauh. Tidak saja bersandar pada kondisi sastra saat ini, perdebatan melibatkan kondisi kesusastraan jauh di masa silam. Orientasinya pun di arahkan jauh ke depan. Tidak hanya untuk kepentingan satu atau lima tahun ke depan, visi yang usung melompat hingga ke puluhan tahun mendatang. Misalnya, memperdebatkan kondisi kesusastraan 25 tahun ke depan.
Lompatan jauh ke depan ini penting digagas untuk memberi ruang bagi fantasi, prediksi, dan utopia. Pemberian ruang-ruang tersebut diharapkan menghasilkan pemikiran yang segar (fresh) dan inspiratif. Tentu saja tetap bersandar pada realitas sekarang. Pun juga, perdebatan melibatkan jejak-jejak peristiwa maupun perkembangan yang telah diraih dalam sejarah kesusastraan Indonesia selama ini.
Memprediksi kondisi kesusastran Indonesia 25 tahun ke depan membutuhkan pertimbangan teknologi. Sejarah sastra di tanah air mencatat, teknologi memiliki pengaruh besar terhadap publikasi karya sastra. Sastrawan tidak perlu membuat pertemuan langsung dengan masyarakat untuk menyiarkan hasil ciptaannya. Penerbitan buku, majalah, dan koran sudah mampu menggantikan pertemuan yang bersifat tradisi lisan tersebut. Bahkan tidak hanya sekadar publikasi, media massa mampu membentuk konstruksi teks. Utamanya bentuk prosa.
Cerpen Indonesia saat ini lebih dikenal melalui format cerpen koran, luasnya kurang lebih antara 6-8 halaman. Di luar jumlah itu, cerpen menjadi terasa terlalu pendek atau terlalu panjang. Padahal pada zaman Idrus, cerpen bisa sangat panjang. Semisal pada cerpen cerdas berjudul Surabaya.
Koran juga berpengaruh besar dalam melegitimasi ketokohan sastrawan. Mayoritas tokoh sastra Indonesia saat ini mempublikasikan karya dan pemikirannya lewat koran. Dua puluh lima tahun ke depan, keberadaan koran masih belum jelas. Ke depan, masyarakat membutuhkan distribusi berita secara cepat dan berharga murah. Koran tidak belum mampu memenuhi dua syarat tersebut. Pertama, koran menjual berita yang telah basi. Peristiwa hari ini dijual besuk. Bandingkan dengan portal berita (internet), peristiwa hari ini langsung disajikan hari ini pula. Koran juga belum mampu menggratiskan berita. Orang harus membeli untuk bisa mendapatkan beberapa lembar kertas yang biasa disebut koran itu. Bandingkan dengan televisi. Masyarakat sudah dijejali beragam berita tanpa harus kehilangan uang.
Dua kendala ini membuat bentuk koran menjadi tidak efektif dan kurang ramah lingkungan. Keberadaan koran pun diragukan mampu bertahan dalam 25 tahun ke depan. Imbasnya, keberadaan tradisi sastra koran turut diragukan. Imbas lainnya, sastrawan butuh media lain untuk membangun ketokohannya. Entah melalui internet maupun even-even tingkat nasional.
Keberadaan internet dan even pun sebenarnya masih mencemaskan. Internet dikenal sangat demokratis. Setiap orang berhak menayangkan hasil karyanya tanpa ada kurasi yang ketat. Media internet semacam fecebook dan lain-lain memang tidak butuh kurator. Komentar-komentar yang dilontarkan pun jarang yang metodis dan memakai pendekatan standar. Mayoritas berupa pujian sebagai bentuk perhormatan atas pertemanan. Begitu pula dengan keberadaan even nasional. Ke depan, hubungan antara pribadi sastrawan dengan dunia luar semakin terbuka. Bebepergian ke luar negeri pun bakal semakin mudah dan murah. Bisa jadi, sastrawan lebih suka menulis karya sastra berbahasa Inggris dan meluncurkan karyanya ke Manchester atau Singapura daripada Jakarta. Kualitas even di Jakarta, barangkali, menjadi sama nilainya dengan acara pertemuan sastra di tingkat kabupaten.
Rapuhnya batas-batas negara ini tentu erat kaitannya dengan sektor ekonomi. Awal tahun ini, setahap demi setahap, Indonesia mulai memasuki perdagangan bebas. Produk-produk luar negeri mulai merambah ke tanah air. Kondisi ini semakin lama akan semakin memuncak. Apakah ada jaminan bahwa nantinya karya sastra Indonesia mampu memproteksi dirinya sendiri? Jika jawabannya, tidak, maka rak-rak toko buku bakal semakin dijejali dengan karya sastra asing.
Problem paling serius mungkin terjadi pada sektor bahasa. Kemampuan bahasa Indonesia untuk terus bertahan sangat diragukan. Perdagangan bebas dan menipisnya jarak antarbangsa membutuhkan satu bahasa yang sama. Peluang ini paling dimiliki oleh bahasa Inggris. Faktanya, mayoritas keluarga kelas menengah-atas lebih memilih membiasakan anaknya berbicara memakai bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Akhirnya anak-anak pun lebih pandai berbahasa Inggris daripada berbahasa Indonesia. Ketika anak-anak ini besar dan menulis sastra, sangat mungkin, mereka lebih memilih menuangkan gagasannya dalam bahasa Inggris. Jika zaman itu telah tiba, sastra Indonesia mungkin telah kesepian. Sastrawan kita akan berbondong-bondong meninggalkan bahasa Indonesia dan berpindah menulis dalam bahasa Inggris. Situasi tampaknya bergerak alamiah dan sulit untuk dihindari. Sama seperti perpindahan dari sastra berbahasa daerah ke sastra berbahasa Indonesia. Sikap yang perlu diantisipasi, jangan sampai sastrawan ke depan memperlakukan sejarah sastra secara semena-mena. Saat ini misalnya, sastrawan modern Indonesia seakan memutus hubungan dari sastra tradisional. Seakan-akan, sastra modern Indonesia hanya hasil adopsi dari sastra Barat.
Merujuk ke sejarah kesusastraan Indonesia, perubahan besar selalu terjadi dalam kurun 25 tahun. Kurun pertama adalah tahun 1910 hingga 1935. Periode ini ditandai dengan migrasi sastrawan-sastrawan Melayu menjadi ikon sastra Indonesia. Para kritikus lantas menyebut periode ini sebagai awal tradisi sastra modern Indonesia. Kurun kedua adalah tahun 1935 hingga tahun 1960. Pada periode ini, jejak sastra Melayu semakin sirna. Bahasa Indonesia mulai menemukan bentuk konkret. Sastrawan mempergunakan bahasa Indonesia secara verbal sehingga muncul karya berstruktur terbuka semacam puisi Chairil Anwar dan cerpen Idrus. Sastrawan luar etnis Melayu juga mulai bermunculan.
Kurun ketiga adalah tahun 1960 hingga tahun 1985. Periode ini merupakan puncak kesusastraan Indonesia. Beragam eksplorasi dilakukan, beragam tema diusung, dan beragam bentuk karya sastra dipamerkan. Hasilnya berupa karya Iwan Simatupang, Danarto, Budi Darma, Goenawan Mohamad, Subagio Sastrowardoyo, WS Rendra, Abdul Hadi WM, Sapardi Djoko Damono, Sutardji, dan lain sebagainya. Kurun keempat adalah tahun 1985 hingga tahun 2010. Periode ini ditandai dengan perubahan persepsi atas bahasa yang dilakukan Afrizal Malna dan Ayu Utami. Keduanya mengusung wacana posmodernisme ke dalam khazanah sastra Indonesia. Kurun terakhir adalah tahun 2010 hingga 2035. Pada kurun terakhir inilah, sastra Indonesia bisa jadi bakal bermigrasi dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris.
Walau bakal berganti bahasa, sastra akan tetap berkutat pada tema-tema laten. Semisal cinta, religiusitas, seks, perasaan-perasaan selalu terancam, kesunyian, kesepian, pengkhianatan, ataupun kerinduan. Itu artinya, personalitas dan kultur keindonesiaan belum akan hilang. Karya sastra tetap akan mengungkapkan persoalan-persoalan di sekitar sastrawannya. Idiom-idiom berasal dari gejala dan fakta setempat. Dimungkinkan, bakal muncul sastra berbahasa Inggris dengan karakter Indonesia.
Hanya saja, kondisi kehidupan masyarakat Indonesia tidak bisa dibayangkan sama persis dengan kondisi saat ini. Pasti terjadi perubahan sosial. Kehidupan di perkotaan, semisal Jakarta atau Surabaya saat ini, bakal menggejala di berbagai pelosok negeri. Imbasnya, pergaulan bertetangga yang intim seperti di desa semakin sulit ditemukan. Spirit gotong royong pelahan tapi pasti akan pudar. Kita tahu, di kota, seseorang lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor atau tempat kerja. Di luar jam itu, orang kota lebih memilih kumpul dengan teman sesama hobi. Semisal hobi olahraga, touring, komunitas penggemar burung, maupun komunitas kesenian. Ke depan, media internet juga akan semakin menyita waktu. Saat ini saja, orang ngobrol sambil membuka jejaring sosial. Kehidupan semacam itu dimungkinkan pola hidup orang di masa depan berbeda jauh dengan kehiudupan masyarakat sekarang. Bila struktur novel mengandaikan struktur masyarakat, konsekuensinya, perubahan dalam masyarakat juga berpengaruh besar terhadap struktur teks.
Sementara itu di ranah politik, ideologi yang bersifat kebangsaan dimungkinkan kian melemah. Kepercayaan orang terhadap partai berideologi keras pun lama kelamaan sirna. Masyaakat akan semakin pragmatis. Bahkan di beberapa negara Eropa, partai berhaluan kiri tidak lagi getol menyuarakan pertentangan kelas seperti yang didengungkan Karl Marx. Partai kiri lebih fokus pada tema-tema layanan publik dan lingkungan. Sebuah langkah cerdas, sebab, layanan publik dan problem lingkungan memang lebih menyentuh terhadap persoalan konkret masyarakat sekarang. Tema ini pula yang getol diunggahkan sastrawan Itali Calvino. Pilihan tema keras semacam yang dituliskan Pramodya Ananta Toer dalam novel Dia yang Menyerah bisa jadi tidak diproduksi lagi pada 25 tahun ke depan. Atau justru sebaliknya, jarak antara negara miskin dengan negara kaya kian melebar, jarak antara kelas atas dengan kelas bawah semakin menganga. Jika memang itu yang terjadi, mau tidak mau, ingin tidak ingin, sastra realisme sosial bakal tergulir secara alamiah. Kita tidak tahu pasti.
Yang pasti, sastra Indonesia ke depan tidak bisa menghindar dari kemutlakan sastra dunia. Batas antarbangsa pelahan sirna, hubungan antarwarga negera semakin dimudahkan, dan bahasa mengerucut pada satu bahasa tunggal. Ini semua musti dihadapi dan disiapkan sejak sekarang
Pernah dimuat di Harian Sinar Harapan, Sabtu 21 Agustus 2010

Kamis, 22 November 2012

W.S RENDRA
 
Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir Solo, 7 November 1935) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok. Semenjak masa kuliah beliau sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah. Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah.
Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya itu. Ia memulai pendidikannya dari TK (1942) hingga menyelesaikan sekolah menengah atasnya, SMA (1952), di sekolah Katolik, St. Yosef di kota Solo. Setamat SMA Rendra pergi ke Jakarta dengan maksud bersekolah di Akademi Luar Negeri. Ternyata akademi tersebut telah ditutup. Lalu ia pergi ke Yogyakarta dan masuk ke Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada. Walaupun tidak menyelesaikan kuliahnya , tidak berarti ia berhenti untuk belajar. Pada tahun 1954 ia memperdalam pengetahuannya dalam bidang drama dan tari di Amerika, ia mendapat beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA). Ia juga mengikuti seminar tentang kesusastraan di Universitas Harvard atas undangan pemerintah setempat.

Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat. Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an. “Kaki Palsu” adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India. Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995). Untuk kegiatan seninya Rendra telah menerima
banyak penghargaan, antara lain Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954) Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956); Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970); Hadiah Akademi Jakarta (1975); Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976) ; Penghargaan Adam Malik (1989); The S.E.A. Write Award (1996) dan Penghargaan Achmad Bakri (2006).
Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.

Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.

Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan bahwa ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama sejak persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang. Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menyebabkan Rendra dituding sebagai haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja. Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati. Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti tak lama kemudian.

Karya Sajak/Puisi W.S. Rendra
Jangan Takut Ibu
Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
Empat Kumpulan Sajak
Rick dari Corona
Potret Pembangunan Dalam Puisi
Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta!
Nyanyian Angsa
Pesan Pencopet kepada Pacarnya
Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan)
Perjuangan Suku Naga
Blues untuk Bonnie
Pamphleten van een Dichter
State of Emergency
Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api
Mencari Bapak
Rumpun Alang-alang
Surat Cinta
Sajak Rajawali
Sajak Seonggok Jagung

Referensi :

- http://biografikecil.blogspot.com/2008/03/bigrafi-ws-rendra.html
CHAIRIL ANWAR

Chairil Anwar yang lahir pada tanggal 6 Juli 1922 di Medan. dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dalam karyanya berjudul Aku) adalah penyair terkemuka Indonesia. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 dan puisi modern Indonesia.

Chairil masuk Hollands Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu penjajah Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah memengah pertama belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus.Tidak ada banyak diketahui mengenai orang-tuanya. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.

Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastera. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.

Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di "Majalah Nisan" pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian. Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya.

Semua tulisannya yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak dikompilasi dalam tiga buku : Deru Campur Debu (1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin). Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangikondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, dia sudah kena sejumlah sakit. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.

KARYA CHAIRIL ANWAR
1. Deru Campur Debu (1949)
2. Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)
3. Tiga Menguak Takdir (1950) (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin)
4. "Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh Pamusuk
5. Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986)
6. Derai-derai Cemara (1998)
7. Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide
8. Kena Gempur (1951), terjemahan karya John Steinbeck

KARYA CHAIRIL ANWAR YANG DITERJEMAHAN KE DALAM BAHASA ASING
Karya-karya Chairil juga banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol. Terjemahan karya-karyanya di antaranya adalah:

1. "Sharp gravel, Indonesian poems", oleh Donna M. Dickinson (Berkeley? California, 1960)
2. "Cuatro poemas indonesios [por] Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati" (Madrid: Palma de Mallorca, 1962)
3. Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963)
4. "Only Dust: Three Modern Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969)
5. The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970)
6. The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan H. B. Jassin (Singapore: University Education Press, 1974)
7. Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978)
8. The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)

Sumber: biografikecil.blogspot.com

Kamis, 15 November 2012

ARTIKEL TENTANG SASTRA INDONESIA
A.    Sastra lahir dari proses kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan atas kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Ia mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Ia dipandang juga memancarkan semangat zamannya. Dari sanalah, sastra memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan bangsanya. Dalam konteks itulah, mempelajari sastra suatu bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan usaha memahami kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, mempelajari kebudayaan suatu bangsa tidak akan lengkap jika keberadaan kesusastraan bangsa yang bersangkutan diabaikan. Di situlah kedudukan kesusastraan dalam kebudayaan sebuah bangsa. Ia tidak hanya merepresentasikan kondisi sosial yang terjadi pada zaman tertentu, tetapi juga menyerupai pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya.
B.     Kesusastraan Indonesia merupakan potret sosial budaya masyarakat Indonesia. Ia berkaitan dengan perjalanan sejarah. Ia merupakan refleksi kegelisahan kultural dan sekaligus juga merupakan manifestasi pemikiran bangsa Indonesia. Periksa saja perjalanan kesusastraan Indonesia sejak kelahirannya sampai kini.
Pada zaman Balai Pustaka (1920—1933), misalnya, kita melihat, karya-karya sastra yang muncul pada saat itu masih menunjukkan keterikatakannya pada problem kultural ketika bangsa Indonesiaberhadapan dengan kebudayaan Barat. Tarik-menarik antara tradisi dan pengaruh Barat dimanifestasikan dalam bentuk tokoh-tokoh rekaan yang mewakili golongan tua (tradisional) dan golongan muda (modern). Tarik-menarik itu juga tampak dari tema-tema yang diangkat dalam karya sastra pada masa itu. Problem adat yang berkaitan dengan masalah perkawinan dan kedudukan perempuan hampir mendominasi novel Indonesia pada zaman itu.
Dalam puisi, problem kultural itu tercermin dari masih kuatnya keterikatan pada bentuk kesusastraan tradisional, seperti pantun atau syair. Meskipun Muhammad Yamin memperkenalkan bentuk soneta (Barat) dalam puisinya, ia sebenarnya masih menggunakan pola pantun dalam persamaan persajakan (bunyi) setiap lariknya. Sementara itu, dilihat dari tema-tema yang diangkatnya, tampak ada usaha merumuskan sebuah konsep kebangsaan, meskipun yang dikatakan Muhammad Yamin masih dalam lingkup Pulau Sumatera.
Dalam bidang drama, Rustam Effendi dalam Bebasari (1926) secara simbolik menawarkan perlawanan kepada bangsa asing (Belanda). Penculikan Sita (Ibu Pertiwi) oleh Rahwana (kolonial) pada akhirnya harus dimenangkan oleh perjuangan gigih seorang Rama (pemuda Indonesia). Jadi, secara simbolik, drama ini sudah mempersoalkan konsep kebangsaan dan pentingnya perjuangan melawan penjajah.
Sementara itu, di pihak yang lain, secara ideologis, karya sastra, terutama novel-novel yang diterbitkan Balai Pustaka memperlihatkan betapa novel-novel yang diterbitkan lembaga itu sejalan dengan ideologi pemerintah kolonial Belanda. Balai Pustaka sebagai lembaga penerbitan yang dikelola pemerintah kolonial Belanda, tentu saja mempunyai kepentingan ideologis. Oleh karena itu sangat wajar jika novel-novel yang diterbitkan Balai Pustaka mengusung kepentingan ideologi kolonial.
C.     pada kesepakatan ahli yang menyatakan sastra Indonesia berawal pada roman-roman terbitan Balai Pustaka tahun 1920-an, sejarahnya hingga sekarang terhitung masih sangat muda, sekitar 80 tahun. Karena itu, diperlukan buku-buku sejarah sastra yang bisa dirujuk pelajar, mahasiswa, peminat, dan ahli sastra. Karena itu, wajarlah apabila perjalanan sejarah sastra Indonesia dibagi-bagi dengan mempertimbangkan momentum perubahan sosial dan politik, seperti tampak dalam buku Ajip Rosidi (1968). Pembagian yang lebih rinci dengan angka tahun menjadi 1900-1933, 1933-1942, 1942-1945, 1945-1953, 1953-1961, dan 1961-1967 dengan warna masing-masing sebagaimana tampak pada sejumlah karya-karya sastra yang penting. Kemudian pada periode 1961-1967 tampak menonjol warna perlawanan dan perjuangan mempertahankan martabat, sedangkan sesudahnya tampak warna percobaan dan penggalian berbagai kemungkinan pengucapan sastra. Format baru Kalau momentum sosial-politik masih dipergunakan sebagai ancangan periodisasi sejarah sastra Indonesia 1900-2000, mungkin saja tercatat format baru dengan menempatkan tiga momentum besar sebagai tonggak-tonggak pembatas perubahan sosial, politik, dan budaya, yaitu proklamasi kemerdekaan 17-8-1945, geger politik dan tragedi nasional 30 September 1965, dan reformasi politik 21 Mei 1998. Analisis struktural Umar Yunus tentang perkembangan puisi Indonesia dan Melayu modern (Bhratara, Jakarta, 1981) dan telaah struktural tentang novel Indonesia (Universiti Malay, Kuala Lumpur, 1974) barangkali dapat dipergunakan sebagai rujukan untuk menjelaskan perubahan-perubahan tersebut. Dengan mempertimbangkan ketiga momentum tadi maka diperoleh empat masa perjalanan sejarah sastra Indonesia, yaitu masa pertama mencakup tahun 1900-1945, masa kedua mencakup tahun 1945-1965, masa ketiga mencakup tahun 1965-1998, dan masa keempat yang dimulai pada tahun 1998 hingga waktu yang belum dapat diperhitungkan.
D.    Sejarah sastra Indonesia, seperti halnya sejarah sosial lainnya, masih belum memperlihatkan kondisi yang sebenarnya. Bangunan sejarah sastra Indonesia rumpang di sejumlah bagian. Ini diakibatkan oleh studi sastra yang berpedoman pada kanonisasi dan kategorisasi sastra, pengukuhan periodeisasi yang telah ditulis sebelumnya, di samping juga karena keterbatasan sumber data dan kritikus yang ada.Penulisan sejarah sastra memunculkan sejumlah nama dan karya yang dianggap mewakili periode tertentu dalam pembabakan yang diciptakan. Selain disangkutkan pada peristiwa sosial, pembabakan ini juga memperlihatkan pada kecenderungan capaian estetika tertentu, sesuai dengan semangat zamannya. Karena itu, kita mengenal periode Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 66, dan sebagainya. Inilah risiko yang harus dijumpai hingga saat ini, bagaimana sejarah perjalanan sastra Indonesia tak dapat dilepaskan dari konteks sosialnya. Setidaknya, pandangan ini memperlihatkan hubungan yang erat antara sastra dan masyarakatnya.Di luar kanonisasi dan kategorisasi yang dibentuk, sejumlah genre sastra kita hilang atau tidak banyak dibicarakan. Karya-karya yang ada di media massa, terutama yang terbit di berbagai koran daerah, luput dari kajian. Karya-karya yang dianggap picisan atau terbitan penerbit partikelir pribumi juga tak masuk dalam pembicaraan. Bahkan, beberapa karya awal sejumlah pengarang besar yang terbit di koran dan penerbit kecil tak masuk dalam daftar riwayat kepengarangan, yang sebenarnya penting untuk dibicarakan dalam proses kreatif kepengarangan. Bahkan sejumlah karya tidak dapat ditemukan lagi, baik akibat sensor dan pembredelan pada masa penjajahan dan setelah kemerdekaan, maupun karena telah hancur karena umurnya yang sudah tua.Namun, kajian sejarah sastra Indonesia, terutama yang membicarakan karya-karya yang tidak masuk dalam kanonisasi ini, telah dilakukan oleh sejumlah ahli sastra dan hasilnya dapat kita temukan. Wendy June Solomon (1993) dan Mikihiro Moriyama (2005), misalnya, dengan cukup komprehensif membahas karya-karya sastra yang terbit di Jawa Barat dan sejarah penerbitannya. Demikian juga dengan George Quinn (1992) yang meneliti novel-novel Jawa. Ada juga Sitti Faizah Rivai (1963) yang pernah menulis skripsi di Universitas Indonesia tentang roman-roman picisan pada zaman penjajahan. Kajian yang menarik juga muncul di sejumlah artikel dalam buku Clearing a Space yang dieditori oleh Keith Foulcher dan Tony Day (2006). Doris Jedamski (2007) juga melakukan penelitian terhadap polemik karya sastra yang terbit di Medan pada masa penjajahan.
E.     Sastra Indonesia, dengan penambahan kata ”modern”, sering kali menjadi awal perdebatan ketika berbicara tentang sejarah sastra Indonesia. Pengaruh bentuk dan gaya sastra asing (baca: Barat) dijadikan patokan untuk menyebut sastra Indonesia yang modern. Dalam nuansa dan konteks seperti ini, kesinambungan sastra Indonesia yang modern dengan tradisi sastra yang sudah ada, yang menjadi latar estetik para pengarang, menjadi kabur. Pergaulan pengarang dengan budayanya, dengan tradisi estetik yang diterima secara budaya, sekadar menjadi warna atau setting dalam proses kreatif yang dijalaninya.Pada masa transisi dari sastra lama ke sastra modern, jika itu ada, dibatasi dan ditandai pada penghormatan akan nama pengarang yang sebelumnya anonim, media publikasi, bentuk pendidikan dan pengetahuan barat, dan pengaruh karya sastra barat. Sebagai akibat, sastra lama kemudian dijadikan artifak, yang dikaji melalui filologi atau arkeologi. Para peneliti sastra, khususnya sejarah sastra, menjadi asing dengan tradisi yang dimiliki oleh sejarah panjang sastra di Indonesia, atau nusantara ini. Hal yang lazim adalah para peneliti sastra menggunakan hasil kajian yang terakhir itu untuk menunjang kerja mereka. Kita tidak pernah betul-betul bersinggungan langsung dengan karya-karya lama kita.Sementara waktu terus berjalan, jarak ketertinggalan kita dengan persoalan yang serius ini mungkin semakin panjang. Karya sastra Indonesia yang modern dan kontemporer terus lahir, yang belum sepenuhnya mampu dibicarakan. Di lain sisi, sastra lama kita juga semakin jauh dan asing. Kegundahan yang menyelimuti kajian sastra Indonesia, terutama para penelitinya, tampaknya tergambar dalam situasi seperti ini.