KESUSASTRAAN INDONESIA.. 25 TAHUN MENDATANG
Sastra Indonesia | Esai – Tahun 1930-an, para
sastrawan mampu menghasilkan pemikiran visioner. Pemikiran hasil
perdebatan dengan melibatkan beragam pandangan. Bersandar pada realitas
saat itu, para sastrawan memandang jauh untuk memberi arah serta
gambaran kondisional sastra ke depan. Sampai kini, suara-suara dari
perdebatan tersebut masih menggema.
Awal tahun 1990-an, para sastrawan juga terlibat dengan berbagai
spekulasi tentang masa depan sastra. Perdebatan yang berasal dari imbas
pemikiran posmodern. Walau tidak terlalu berpijak pada realitas konkret
di Indonesia, tema perdebatan meluas hingga mampu memberi alternatif
masa depan sastra kita.
Sayangnya, pada sepuluh tahun terakhir, sastrawan-sastrawan kita
tampak kesulitan mencari tema besar yang merangsang munculnya
kompleksitas pemikiran. Esai-esai di media massa hanya berkutat pada
tema-tema fragmentaris. Daya jangkaunya pun hanya bergaung dalam satu
atau dua tahun. Tidak mampu memberi inspirasi terhadap disiplin ilmu
lain di luar sastra.
Bersandar dari situasional ini, ranah sastra membutuhkan perdebatan
yang melambung jauh. Tidak saja bersandar pada kondisi sastra saat ini,
perdebatan melibatkan kondisi kesusastraan jauh di masa silam.
Orientasinya pun di arahkan jauh ke depan. Tidak hanya untuk kepentingan
satu atau lima tahun ke depan, visi yang usung melompat hingga ke
puluhan tahun mendatang. Misalnya, memperdebatkan kondisi kesusastraan
25 tahun ke depan.
Lompatan jauh ke depan ini penting digagas untuk memberi ruang bagi
fantasi, prediksi, dan utopia. Pemberian ruang-ruang tersebut diharapkan
menghasilkan pemikiran yang segar (fresh) dan inspiratif. Tentu saja
tetap bersandar pada realitas sekarang. Pun juga, perdebatan melibatkan
jejak-jejak peristiwa maupun perkembangan yang telah diraih dalam
sejarah kesusastraan Indonesia selama ini.
Memprediksi kondisi kesusastran Indonesia 25 tahun ke depan
membutuhkan pertimbangan teknologi. Sejarah sastra di tanah air
mencatat, teknologi memiliki pengaruh besar terhadap publikasi karya
sastra. Sastrawan tidak perlu membuat pertemuan langsung dengan
masyarakat untuk menyiarkan hasil ciptaannya. Penerbitan buku, majalah,
dan koran sudah mampu menggantikan pertemuan yang bersifat tradisi lisan
tersebut. Bahkan tidak hanya sekadar publikasi, media massa mampu
membentuk konstruksi teks. Utamanya bentuk prosa.
Cerpen Indonesia saat ini lebih dikenal melalui format cerpen koran,
luasnya kurang lebih antara 6-8 halaman. Di luar jumlah itu, cerpen
menjadi terasa terlalu pendek atau terlalu panjang. Padahal pada zaman
Idrus, cerpen bisa sangat panjang. Semisal pada cerpen cerdas berjudul
Surabaya.
Koran juga berpengaruh besar dalam melegitimasi ketokohan sastrawan.
Mayoritas tokoh sastra Indonesia saat ini mempublikasikan karya dan
pemikirannya lewat koran. Dua puluh lima tahun ke depan, keberadaan
koran masih belum jelas. Ke depan, masyarakat membutuhkan distribusi
berita secara cepat dan berharga murah. Koran tidak belum mampu memenuhi
dua syarat tersebut. Pertama, koran menjual berita yang telah basi.
Peristiwa hari ini dijual besuk. Bandingkan dengan portal berita
(internet), peristiwa hari ini langsung disajikan hari ini pula. Koran
juga belum mampu menggratiskan berita. Orang harus membeli untuk bisa
mendapatkan beberapa lembar kertas yang biasa disebut koran itu.
Bandingkan dengan televisi. Masyarakat sudah dijejali beragam berita
tanpa harus kehilangan uang.
Dua kendala ini membuat bentuk koran menjadi tidak efektif dan kurang
ramah lingkungan. Keberadaan koran pun diragukan mampu bertahan dalam
25 tahun ke depan. Imbasnya, keberadaan tradisi sastra koran turut
diragukan. Imbas lainnya, sastrawan butuh media lain untuk membangun
ketokohannya. Entah melalui internet maupun even-even tingkat nasional.
Keberadaan internet dan even pun sebenarnya masih mencemaskan.
Internet dikenal sangat demokratis. Setiap orang berhak menayangkan
hasil karyanya tanpa ada kurasi yang ketat. Media internet semacam
fecebook dan lain-lain memang tidak butuh kurator. Komentar-komentar
yang dilontarkan pun jarang yang metodis dan memakai pendekatan standar.
Mayoritas berupa pujian sebagai bentuk perhormatan atas pertemanan.
Begitu pula dengan keberadaan even nasional. Ke depan, hubungan antara
pribadi sastrawan dengan dunia luar semakin terbuka. Bebepergian ke luar
negeri pun bakal semakin mudah dan murah. Bisa jadi, sastrawan lebih
suka menulis karya sastra berbahasa Inggris dan meluncurkan karyanya ke
Manchester atau Singapura daripada Jakarta. Kualitas even di Jakarta,
barangkali, menjadi sama nilainya dengan acara pertemuan sastra di
tingkat kabupaten.
Rapuhnya batas-batas negara ini tentu erat kaitannya dengan sektor
ekonomi. Awal tahun ini, setahap demi setahap, Indonesia mulai memasuki
perdagangan bebas. Produk-produk luar negeri mulai merambah ke tanah
air. Kondisi ini semakin lama akan semakin memuncak. Apakah ada jaminan
bahwa nantinya karya sastra Indonesia mampu memproteksi dirinya sendiri?
Jika jawabannya, tidak, maka rak-rak toko buku bakal semakin dijejali
dengan karya sastra asing.
Problem paling serius mungkin terjadi pada sektor bahasa. Kemampuan
bahasa Indonesia untuk terus bertahan sangat diragukan. Perdagangan
bebas dan menipisnya jarak antarbangsa membutuhkan satu bahasa yang
sama. Peluang ini paling dimiliki oleh bahasa Inggris. Faktanya,
mayoritas keluarga kelas menengah-atas lebih memilih membiasakan anaknya
berbicara memakai bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Akhirnya
anak-anak pun lebih pandai berbahasa Inggris daripada berbahasa
Indonesia. Ketika anak-anak ini besar dan menulis sastra, sangat
mungkin, mereka lebih memilih menuangkan gagasannya dalam bahasa
Inggris. Jika zaman itu telah tiba, sastra Indonesia mungkin telah
kesepian. Sastrawan kita akan berbondong-bondong meninggalkan bahasa
Indonesia dan berpindah menulis dalam bahasa Inggris. Situasi tampaknya
bergerak alamiah dan sulit untuk dihindari. Sama seperti perpindahan
dari sastra berbahasa daerah ke sastra berbahasa Indonesia. Sikap yang
perlu diantisipasi, jangan sampai sastrawan ke depan memperlakukan
sejarah sastra secara semena-mena. Saat ini misalnya, sastrawan modern
Indonesia seakan memutus hubungan dari sastra tradisional. Seakan-akan,
sastra modern Indonesia hanya hasil adopsi dari sastra Barat.
Merujuk ke sejarah kesusastraan Indonesia, perubahan besar selalu
terjadi dalam kurun 25 tahun. Kurun pertama adalah tahun 1910 hingga
1935. Periode ini ditandai dengan migrasi sastrawan-sastrawan Melayu
menjadi ikon sastra Indonesia. Para kritikus lantas menyebut periode ini
sebagai awal tradisi sastra modern Indonesia. Kurun kedua adalah tahun
1935 hingga tahun 1960. Pada periode ini, jejak sastra Melayu semakin
sirna. Bahasa Indonesia mulai menemukan bentuk konkret. Sastrawan
mempergunakan bahasa Indonesia secara verbal sehingga muncul karya
berstruktur terbuka semacam puisi Chairil Anwar dan cerpen Idrus.
Sastrawan luar etnis Melayu juga mulai bermunculan.
Kurun ketiga adalah tahun 1960 hingga tahun 1985. Periode ini
merupakan puncak kesusastraan Indonesia. Beragam eksplorasi dilakukan,
beragam tema diusung, dan beragam bentuk karya sastra dipamerkan.
Hasilnya berupa karya Iwan Simatupang, Danarto, Budi Darma, Goenawan
Mohamad, Subagio Sastrowardoyo, WS Rendra, Abdul Hadi WM, Sapardi Djoko
Damono, Sutardji, dan lain sebagainya. Kurun keempat adalah tahun 1985
hingga tahun 2010. Periode ini ditandai dengan perubahan persepsi atas
bahasa yang dilakukan Afrizal Malna dan Ayu Utami. Keduanya mengusung
wacana posmodernisme ke dalam khazanah sastra Indonesia. Kurun terakhir
adalah tahun 2010 hingga 2035. Pada kurun terakhir inilah, sastra
Indonesia bisa jadi bakal bermigrasi dari bahasa Indonesia ke bahasa
Inggris.
Walau bakal berganti bahasa, sastra akan tetap berkutat pada
tema-tema laten. Semisal cinta, religiusitas, seks, perasaan-perasaan
selalu terancam, kesunyian, kesepian, pengkhianatan, ataupun kerinduan.
Itu artinya, personalitas dan kultur keindonesiaan belum akan hilang.
Karya sastra tetap akan mengungkapkan persoalan-persoalan di sekitar
sastrawannya. Idiom-idiom berasal dari gejala dan fakta setempat.
Dimungkinkan, bakal muncul sastra berbahasa Inggris dengan karakter
Indonesia.
Hanya saja, kondisi kehidupan masyarakat Indonesia tidak bisa
dibayangkan sama persis dengan kondisi saat ini. Pasti terjadi perubahan
sosial. Kehidupan di perkotaan, semisal Jakarta atau Surabaya saat ini,
bakal menggejala di berbagai pelosok negeri. Imbasnya, pergaulan
bertetangga yang intim seperti di desa semakin sulit ditemukan. Spirit
gotong royong pelahan tapi pasti akan pudar. Kita tahu, di kota,
seseorang lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor atau tempat
kerja. Di luar jam itu, orang kota lebih memilih kumpul dengan teman
sesama hobi. Semisal hobi olahraga, touring, komunitas penggemar burung,
maupun komunitas kesenian. Ke depan, media internet juga akan semakin
menyita waktu. Saat ini saja, orang ngobrol sambil membuka jejaring
sosial. Kehidupan semacam itu dimungkinkan pola hidup orang di masa
depan berbeda jauh dengan kehiudupan masyarakat sekarang. Bila struktur
novel mengandaikan struktur masyarakat, konsekuensinya, perubahan dalam
masyarakat juga berpengaruh besar terhadap struktur teks.
Sementara itu di ranah politik, ideologi yang bersifat kebangsaan
dimungkinkan kian melemah. Kepercayaan orang terhadap partai berideologi
keras pun lama kelamaan sirna. Masyaakat akan semakin pragmatis. Bahkan
di beberapa negara Eropa, partai berhaluan kiri tidak lagi getol
menyuarakan pertentangan kelas seperti yang didengungkan Karl Marx.
Partai kiri lebih fokus pada tema-tema layanan publik dan lingkungan.
Sebuah langkah cerdas, sebab, layanan publik dan problem lingkungan
memang lebih menyentuh terhadap persoalan konkret masyarakat sekarang.
Tema ini pula yang getol diunggahkan sastrawan Itali Calvino. Pilihan
tema keras semacam yang dituliskan Pramodya Ananta Toer dalam novel Dia
yang Menyerah bisa jadi tidak diproduksi lagi pada 25 tahun ke depan.
Atau justru sebaliknya, jarak antara negara miskin dengan negara kaya
kian melebar, jarak antara kelas atas dengan kelas bawah semakin
menganga. Jika memang itu yang terjadi, mau tidak mau, ingin tidak
ingin, sastra realisme sosial bakal tergulir secara alamiah. Kita tidak
tahu pasti.
Yang pasti, sastra Indonesia ke depan tidak bisa menghindar dari
kemutlakan sastra dunia. Batas antarbangsa pelahan sirna, hubungan
antarwarga negera semakin dimudahkan, dan bahasa mengerucut pada satu
bahasa tunggal. Ini semua musti dihadapi dan disiapkan sejak sekarang
Pernah dimuat di Harian Sinar Harapan, Sabtu 21 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar